Tia Ventiana salah satu Taruni Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta, siap menekuni profesi langka. Ia ingin menjadi pelaut bahkan kapten kapal atau nakhoda wanita di negeri ini. Profesi keras yang identik dengan pekerjaan kaum adam itu, kini banyak dimintai kaum hawa seperti halnya Tia Ventiana. Zaman sudah berubah, apapun bisa dilakukan wanita termasuk menjadi pelaut.
Kartini muda ini bercita-cita menjadi pelaut. Saat masuk ke STIP Jakarta tiga tahun silam, ia pun memilih jurusan nautika, karena ingin menjadi nakhoda. “Saya bukan dari keluarga pelaut, karena ayah adalah PNS. Masuk ke sekolah pelaut ini murni motivasi saya sendiri. Pelaut itu profesi menantang, termasuk gaji dan kesejahteraan yang bakal diterimanya,” katanya.
Kalau orang bisa sukses menjadi pelaut mengapa saya tidak? Dengan kerja dan belajar keras, saya optimis bisa menjadi pelaut hebat. Selama prola, saya berlayar di dua kapal berbeda, yaitu MT Coral Millepora dan MT Coral Carbonic. Keduanya milik perusahaan asal Belanda, Anthony Veder. Saya menjadi satu-satunya anak buah kapal (ABK) wanita. Buktinya tak masalah,” kilah Tia.
Tia berlayar di kapal tangker dengan total ABK 14 orang. Dari jumlah itu, hanya Tia yang ABK wanita. “Saya apal, dari German saat itu tanggal 1 September 2014. Kapal tersebut berlayar hampir keliling Eropa, mulai Eropa Barat sampai Latvia di Eropa Timur,” kenang Tia.
“Dengan kerja profesional, semua bisa dijalani. Untung juga, selama berlayar ada senior dari STIP Jakarta di kapal tersebut. Jadi, tidak sendirian di kapal itu. Yang jelas, kerja di kapal harus profesional baik laki-laki atau perempuan sama,” jelas putri asal Pagaralam, Sumatera Selatan itu.
Dibentuk Dari STIP, saat mulai proses pendidikan dan latihan sebagai taruna STIP Jakarta semua berjalan lancar. Semua program studi sebagai calon pelaut dilalui dengan nilai cukup baik. Dari sanalah impian menjadi pelaut itu mulai terbangun.
Waktu bertemu keluarga juga dibatasi. Sebelum tiga bulan, tak boleh pulang dan orang tua atau keluarga juga tak boleh besuk. “Semua itu dimaksudkan untuk membentuk pribadi calon peluat yang kuat. Kalau berlayar, pelaut itu bisa berbulan-bulan bahkan sampai setahun tidak bertemu keluarga. Tak boleh home sick sebaliknya harus mampu menjadi pribadi yang kuat dan mandiri. Hidup di kapal itu harus mandiri bahkan harus mengatasi dan menyelesaikan masalah sendirian,” urai Tia.
Selama bulan Ramadhan lalu, menurut Tia, dia harus menjalankan puasa di atas kapal. Kita juga harus tetap kerja dan bersinergi dengan sesama ABK termasuk mereka yang nonmuslim. “Itulah salah satu tantangan cukup berat bagi pelaut. Apalagi, waktu puasa di Eropa sampai 20 jam. Jauh dibandingkan puasa di Tanah Air yang rata-rata hanya 12 jam. Tapi, karena kita niat puasa dan beribadah, semua berjalan baik. Sampai akhirnya harus mengakhiri prola dan kembali ke kampus STIP Jakarta,” papar Tia.
Tiga Bulan Muntah-Munta, pengalaman prola selama setahun, bukan berarti tanpa hambatan dan tantangan. Banyak sekali pengalaman unik dan menarik bahkan menegangkan bersama ABK harus menghadapi tantangan alam di tengah laut.
“Yang paling mencegangkan, selama empat bulan pertama di kapal hampir setiap hari muntah-muntah. Hal itu dipicu kondisi alam terutama ombak dan gelombang besar di laut. Tinggi gelombang mencapai empat meter. Bagi kami taruna prola, seperti saya tahan dan mabuk laut,” kenang Tia.
Selain ombak tinggi, menurut dia berlayar di daerah Eropa itu, harus menghadapi cuaca musim dingin. Pernah berayar ditengah cuaca dingin, dengan suhu dibawah nol derajat. Bagi orang Indonesia, berlayar di tengah cuaca dingin menusuk tulang. Kondisi makin parah jika ditambah angin kencang, hampir membeku tubuh ini,” terang Tia
Namun begitu, menjadi pelaut tak semua harus menghadapi pengalaman dan tantangan buruk. Berlayar di kapal asing itu menambah wawasan. Kita bergaul dan bekerja sama dengan orang asing, dan harus berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Ini tantangan bagi kita,” urai Tia.
Yang tak kalah menggembirakan, tambah Tia, selama ikut prola sudah dibayar. Berita taruna prola sudah dibayar itu memang benar adanya. “Rata-rata, kita terima 500 dolar AS per bulan. Jadi, turun dari kapal tak minta uang ke orang tua untuk bayar kuliah. Mulai semster VII-VIII bahkan wisuda cukup dari tabungan sendiri,” tandas dia.
Nilai tambah lain yag perlu dicatat menurut Tia, taruna prola terutama di kapal-kapal asing sudah langsung diminta bekerja di perusahaan tersebut. Sebelum turun kapal, kita sudah teken kontrak kerja dengan perusahaan pelayaran asing itu. “Kita dari kampus sudah ditentukan sesuai nilai IPK, ikut kapal asing itu. Jika kerja kita bagus dan lolos seleksi tentu kita langsung diminta bergabung setelah lulus nanti,” tegas Tia.
Banyak capten wanita lulusan taruni AIP/PLAP/STIP yang juga memilih exist didarat setelah beberapa tahun meraup rupiah dan dolar di laut seperti di STIP ada Capt.Anisah,MMTr; Capt.Suhartini,MMTr; Meilinasari H,MMTr; Naomi Louhenapessy,MM;Lussy cahya Pratiwi,S.SiT; dan Yohana Savitri Sianturi,S.SiT. Jayalah pelaut STIP baik di darat dan di laut.
Stay connected